ARTICLE AD BOX
Kabul -
Taliban melakukan perombakan hukum di Afghanistan. Kini, perempuan dilarang untuk terlibat dalam proses peradilan di negara itu.
Dilansir BBC, Senin (26/8/2024), Taliban melakukan perombakan sistem hukum yang mereka lakukan di Afghanistan dan dampak besar pada kehidupan masyarakat, khususnya perempuan. Perombakan ini dilakukan setelah Taliban kembali berkuasa 3 tahun lalu.
Taliban mengatakan mereka bekerja keras untuk mengembalikan kebijakan lalu dan membatalkan putusan pengadilan sebelumnya. Taliban juga menawarkan permohonan banding gratis kepada masyarakat umum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini menyebabkan melonjaknya puluhan ribu kasus pengadilan lama yang diadili kembali berdasarkan Syariah (Hukum Islam) yang diberlakukan Taliban dan perempuan khususnya merasakan dampaknya. Beberapa perceraian yang dikabulkan di bawah rezim lama menjadi dinyatakan tidak sah dan memaksa perempuan untuk kembali ke pernikahan yang tidak diinginkan.
Sementara, hakim perempuan tidak diikutsertakan dalam sistem hukum: 'Perempuan tidak memenuhi syarat atau tidak mampu mengadili karena dalam prinsip syariah kita, aktivitas peradilan memerlukan orang-orang dengan kecerdasan tinggi.'
Cerita Wanita Dipanggil Kembali ke Pengadilan
Sepuluh hari setelah Taliban kembali berkuasa, Nazdana yang berusia 20 tahun sedang membantu ibunya di dapur. Dia sempat mendekat untuk mendengar ucapan ayahnya yang baru kembali ke rumah. Dia mengaku menangis saat mendengar ucapan ayahnya yang menyebut kasus perceraiannya kembali dibuka pengadilan Taliban di daerah asalnya, Uruzgan.
"Ketika saya mendengar nama saya, jantung saya mulai berdebar kencang dan saya menangis," kata Nazdana
Dia dipanggil kembali oleh pengadilan untuk sidang perceraian dengan pria yang tak pernah ingin dinikahinya. Ketika Nazdana baru berusia tujuh tahun, ayahnya setuju dia akan dinikahkan ketika putrinya berusia remaja demi menyelesaikan perselisihan keluarga.
Dikenal sebagai 'pernikahan yang buruk', praktik ini berupaya mengubah 'musuh' keluarga menjadi 'teman'. Saat Nazdana berusia 15 tahun, Hekmatullah datang untuk membawa 'istrinya' itu pulang. Namun, Nazdana langsung mengajukan perceraian dan akhirnya mendapatkan kembali kebebasannya.
"Saya berulang kali mengatakan kepada pengadilan bahwa saya tidak bersedia menikah dengannya," kata Nazdana.
"Setelah hampir 2 tahun berjuang, saya akhirnya memenangkan kasus ini. Pengadilan mengucapkan selamat kepada saya dan berkata, 'Kalian kini berpisah dan bebas menikah dengan siapa pun yang kalian inginkan'," sambungnya.
Ketika merayakan perceraiannya, Nazdana mengadakan acara silaturahmi di desanya dan membagikan makanan kepada teman dan tetangga di masjid setempat. Namun setahun kemudian, Taliban mengambil alih kekuasaan dan dengan cepat memperkenalkan interpretasi syariah (hukum Islam) yang ketat di seluruh negeri.
Mantan suaminya, Hekmatullah yang sekarang menjadi anggota Taliban mengajukan permintaan ke pengadilan untuk membatalkan putusan yang dibuat pada pemerintahan sebelumnya. Kali ini, Nazdana tak akan diikutsertakan dalam proses persidangan sesuai dengan syariah Islam yang diinterpretasikan Taliban.
"Di pengadilan, Taliban bilang pada saya bahwa saya tidak boleh kembali ke pengadilan karena itu bertentangan dengan syariah. Mereka mengatakan bahwa saudara laki-laki saya harus mewakili saya," kata Nazdana.
"Mereka mengatakan kepada kami jika kami tidak mematuhinya, mereka akan menyerahkan saudara perempuan saya kepadanya (Hekmatullah) dengan paksa," kata saudara laki-laki Nazdana, Shams (28).
Meskipun Shams memohon kepada hakim bahwa putusan baru tersebut akan membahayakan nyawa saudara perempuannya, pengadilan membatalkan putusan sebelumnya dan memutuskan Nazdana harus segera kembali ke mantan suaminya, Hekmatullah. Nazdana pun mengajukan banding atas putusan hakim demi mengulur waktu untuk meninggalkan negara itu. Bersama saudara laki-lakinya dia meninggalkan kampung halamannya dan melarikan diri ke negara tetangga.
Sejak melarikan diri ke negara tetangga, Nazdana menghabiskan satu tahun berlindung di bawah pohon, di trotoar kecil di antara dua jalan yang sibuk. Dia duduk sambil memegang seikat dokumen yang terikat erat satu-satunya bukti identitasnya sebagai perempuan lajang yang bebas.
"Saya sudah mengetuk banyak pintu untuk meminta bantuan, termasuk PBB, tapi belum ada yang mendengar suara saya. Dimana dukungannya? Bukankah saya berhak mendapatkan kebebasan sebagai perempuan?" ujarnya.
Hakim di Uruzgan tidak mau berbicara kepada media, namun kami berhasil mengunjungi Mahkamah Agung Taliban di ibu kota Kabul untuk mencari jawaban.
"Hakim kami mempelajari kasus ini dari semua sudut dan memutuskan mendukung Hekmatullah," kata juru bicara di Mahkamah Agung, Abdulwahid Haqani.
"Putusan pemerintahan korup sebelumnya yang membatalkan pernikahan Hekmatullah dan Nazdana bertentangan dengan syariah dan aturan pernikahan. Karena pada saat sidang, Hekmatullah tidak hadir," sambung Haqani.
Kami mencoba mendapatkan tanggapan dari Hekmatullah tetapi kami tidak dapat menghubunginya. Nazdana hanyalah satu dari sekitar 355.000 kasus yang diklaim telah diselesaikan oleh pemerintah Taliban sejak mengambil alih kekuasaan pada Agustus 2021.
Taliban mengatakan sebagian besar berkas tersebut adalah kasus pidana diperkirakan 40% adalah sengketa tanah dan 30% lainnya adalah kasus keluarga, termasuk masalah perceraian. BBC tidak dapat memverifikasi angka yang diberikan oleh pemerintah Taliban.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.