ARTICLE AD BOX
Beirut -
Ibrahim Aqil, komandan top Hizbullah yang tewas dalam serangan udara Israel di pinggiran Beirut, Lebanon, sudah sejak lama diburu oleh Amerika Serikat (AS) terkait dua serangan bom di Kedutaan Besar AS dan barak Marinir AS tiga dekade lalu. Kepala Aqil bahkan dihargai US$ 7 juta (Rp 106 miliar) oleh Washington.
Lebih dari 300 orang tewas dalam dua serangan bom truk di Beirut tahun 1983 silam. Demikian seperti dilansir Reuters, Sabtu (21/9/2024).
Militer Israel mengklaim Aqil tewas dalam serangannya, bersama 10 komandan senior Hizbullah lainnya. Sumber yang dekat dengan Hizbullah menyebut Aqil sedang menghadiri "rapat dengan para komandan" senior Hizbullah ketika dia terbunuh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hizbullah mengonfirmasi pada Jumat (20/9) tengah malam bahwa Aqil tewas dalam serangan Israel, dan memujinya sebagai "salah satu pemimpin besar mereka".
Aqil menjabat sebagai komandan unit elite Radwan, dan merupakan anggota badan militer tertinggi Hizbullah, Dewan Jihad. Dia menjadi anggota kedua Dewan Jihad yang terbunuh dalam serangan Israel, setelah Fuad Shukr yang tewas dalam serangan Tel Avi pada Juli lalu.
Selama ini, Aqil kerap menggunakan nama samaran Tahsin dan Abdelqader. Sama seperti Shukr, Aqil juga merupakan anggota veteran Hizbullah, yang didirikan oleh Garda Revolusi Iran pada awal tahun 1980-an untuk melawan pasukan Israel yang saat itu menginvasi dan menduduki Lebanon.
Lahir di sebuah desa di area Lembah Bekaa sekitar tahun 1960, menurut sumber keamanan setempat, Aqil bergabung dengan gerakan politik besar Syiah Lebanon lainnya, Amal, sebelum beralih ke Hizbullah sebagai anggota pendiri kelompok tersebut.
AS menuduh Aqil berperan dalam serangan bom truk di Kedutaan Amerika di Beirut pada April 1983 silam, yang menewaskan sedikitnya 63 orang, dan pengeboman di sebuah barak Marinir AS enam bulan kemudian yang menewaskan 241 orang, yang semuanya tentara AS.
Simak berita selengkapnya di halaman selanjutnya.